Sebuah hikayat usang pernah berkata “Cinta itu buta.
Seringkali karena cinta orang bisa melakukan hal yang tidak rasional”. Bisa
jadi itulah gambaran sederhana dari apa yang aku rasakan pada ibuku. Perempuan
tangguh yang dari rahimnyalah, Tuhan memberiku kehidupan. Aku terlahir dari
sebuah keluarga sederhana, asli keturunan madura. Bagi orang madura kehormatan
adalah segalanya. Dengan semboyan yang karib kita kenal ‘lebih baik putih
tulang daripada putih mata’ (lebih baik mati daripada menanggung malu). Itulah
kenapa tidak salah jika kebanyakan orang madura identik dengan ‘carok’.
Carok adalah sebuah adu tanding yang kerapkali disebabkan
hal-hal sepele tapi menyentil kehormatan dan harga diri. Namun terlepas dari
semua itu, aku tetap bangga terlahir sebagai perempuan madura, yang kata orang
terkenal tangguh dan tahan banting. Kumerenung dan berpikir. Lima tahun lalu,
ketika aku lulus dari bangku SMA. Untuk pertama kalinya ketangguhanku diuji.
Aku dihadapkan pada sebuah pilihan yang dilematis. Pernikahan. Yah, sebuah
lamaran datang pada orang tuaku. Satu hal yang juga aku pelajari sebagai
perempuan madura adalah ‘surga kami ada pada pengabdian kami’. Dan pengorbanan
awalku tentu saja untuk keluargaku, ibuku. Karena alasan itulah, menolak
menjadi momok yang mengerikan bagiku. Meski menerima perjodohan ini juga bukan
hal yang menyenangkan.
Pilihan ini teramat sulit. Karena apapun pilihannya aku
tetap ada di pihak yang kalah. Menikah, harusnya menjadi moment yang indah bagi
setiap pasangan yang hendak menjalaninya. Namun tak demikian yang kurasakan,
ketika aku dihadapkan pada kenyataan aku harus mengubur rapat keinginanku untuk
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi berkarir. Namun menolak
perjodohan ini juga bukan solusi indah yang bisa ditawarkan. Karena bisa jadi
aku justru akan menjerumuskan keluargaku pada sesuatu yang disebut su’ul adab
(tata krama yang tidak baik). Usia 19 tahun dianggap telah cukup matang untuk berumah
tangga. Sehingga menjadi hal yang tidak baik menolak sebuah lamaran. Dengan
asumsi, ibuku menikah dengan ayah di usia 13 tahun.
“Nduk...jika memang
kamu ingin kuliah setelah menikahpun masih bisa,” sebuah kalimat yang teramat
sulit untuk kucerna. Namun pada akhirnya, aku adalah perempuan madura yang
terlahir dengan surga karena pengabdiaannya. Aku memilih menjalani pengabdian
pertamaku dengan harapan akan ada surga kelak untukku.
*****
Akupun menjalani
peran sebagai calon istri orang. Calon suamiku seorang yang humoris dan pekerja
keras. Setidaknya itulah yang kudengar dari keluargaku. Meski dihadapanku, ia
tak lebih sebagai sosok yang pendiam dan murung. Huuh..mungkin aku belum
mengenalnya? Kucoba menghibur diri sendiri.
Hingga hari
pernikahan kami pun ditentukan. 7 hari setelah hari raya. Suasana sibuk di
sana-sini. Di rumahku, dan tentu saja di rumah calon suamiku. Suatu ketika aku
diminta untuk bertandang kerumah calon suamiku. Sekadar untuk menjalin
keakraban dengan keluarga besarnya. Orang-orang yang kelak juga akan menjadi
keluargaku. Aku menjalaninya dengan ritual yang aneh. Aku tak boleh bertatap
muka dengan calon suamiku hingga hari pernikahan. Ritual yang kemudian
kuketahui disebut ‘pingitan’. Aku menurut saja.
Di kalangan
keluarganya aku terbilang cukup pandai bergaul. Ini terbukti, hampir seluruh
keluarganya sangat welcome padaku. Beberapa keponakannya bahkan telah fasih
memanggilku dengan sebutan ‘tante’. Mereka anak-anak yang sangat lucu dan
menggemaskan. Mereka akan jadi sahabat kecilku. Kupikir.
Namun Tuhan
menyadarkan aku akan sesuatu. Manusia bisa saja berkehendak namun pada akhirnya
DIA-lah yng akan menentukan jalan yang terbaik. Aku kembali dihadapkan pada
sesuatu yang menguji ketangguhanku. Juga pengabdian yang kujalani. Aku mendapatkan
jawaban atas sikap calon suamiku yang terkesan dingin. Dia tak pernah
mencintaiku. Dia mungkin juga sama sepertiku, tengah menjalani pengabdian yang
terkadang memang sangat menyesakkan.
“aku menyayangimu,
tapi apa gunanya?? Kau sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Dia
perempuan yang pantas untuk menjadi ibu dari anak-anakmu. Kau pasti bahagia
dengannya. Lupakan aku!”. Tanpa sengaja aku mendengar sebuah pembicaraan dari
bilik kamar mandi. Dan siapa yang sangka jika itu adalah calon suamiku dan
seorang perempuan, yang aku tahu masih sepupu calon suamiku.
Mereka kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Sekaget aku
ketika mendengar kalimat yang seolah meruntuhkan bangunan cinta dan pengabdian
yang baru saja hendak kubangun. Aku tidak tahu, dengan bahasa apa aku harus
mengungkapkan perasaanku kala itu. Satu-satunya yang terlintas di otakku
adalah... Aku ingin pulang!. Dan benar, aku pulang tanpa pamit pada siapapun.
Aku pulang. Tapi aku
tak menceritakan apapun pada keluargaku. Aku tak sanggup, meski hanya sekedar
membahasakan kegalauan hatiku. Biarlah mereka yang menjelaskan. Malam harinya,
sebuah pertemuan keluarga terjadi. Aku sengaja tak keluar kamar andai bukan
karena ibu meminta untuk ikut dalam pertemuan itu. Kepalaku pening waktu itu.
Dengan kendali diri yang masih tersisa, aku berusaha tampil setegar mungkin.
Aku masih sempat menyalami calon mertuaku. Huh... berat sekali sebutan itu!.
Sebelum akhirnya memutuskan duduk di samping ibuku. Aku menggenggam tangannya.
Ibu... bantu aku! Batinku.
“Nak, semua keputusan
kami serahkan padamu....”. suara itu berasal dari ayah calon suamiku. Aku
menarik nafas panjang. Mencoba membuang beban yang menyesakkan dadaku. “Ibu....
ibu tahu aku menjalani semua ini untuk ibu. Jika menurut ibu aku akan bahagia
dengan menjalaninya. Aku akan menjalaninya”. Hanya itu, kalimat yang muncul
dariku. Lantas aku kembali ke kamarku. Air mataku tak lagi bisa kubendung. Dan
aku tak ingin ibu melihatnya. Meski akupun sadar, ibu tahu jika aku menangis.
*****
Kini, segalanya telah
lain. Seperti yang pernah kubilang, ‘Tuhan tahu yang terbaik’. Aku bukan lagi
calon istri orang. Bukan lagi perempuan yang karena keluguannya menjadi benalu
dalam batin orang lain. Aku bebas. Bebas dari ikatan tanpa cinta.
Namun, benar kata orang
China, dalam kehidupan ini selalu ada unsur yin dan yang (negatif dan positif).
Itulah yang membuat kehidupan ini seimbang. Aku memang telah bebas dari ikatan
yang mencekik leher, tapi tak berarti aku bebas dari masalah. Kenyataannya, aku
dan keluargaku pun tetap berada di pihak yang salah. Karena memutuskan untuk
mengakhiri ikatan tersebut. Sebuah keputusan yang mempertaruhkan harga diri dan
martabat keluargaku.
Kuputuskan untuk
tidak memikirkannya. Tentu saja bukan tanpa alasan. Tapi lagi-lagi karena ibuku
dan untuk ibuku. Aku berjanji menjalani kehidupan dengan sebaik-baik yang bisa
aku lakukan. Aku akan terus berusaha tidak akan mengecewakanmu ibu.
Seketika itu pula
seuntai puisi terucap: Teriknya sinar mentari// Menusuk tajam dalam mataku//
Membuatku tersilaukan// Rona indah sebuah pengabdian// Langkah lemah bagai
duri// Yang menancap.... menghujam jantungku// Dan menghancurkanku// Aku
tersenyum menahan luka// Yang hampir berdarah.....dan// Semua untukmu ibu.***
Oleh: Fitriana Utami Dewi, alumni S2 Ilmu Komunikasi Universitas
Airlangga.
0 komentar:
Post a Comment