Sunday, June 24, 2012

Perempuan Madura


Mencintai dan keinginan untuk dicintai adalah hal yang sangat manusiawi. Semua orang pasti merasakannya. Cinta yang pertama kali kukenal adalah cinta ibuku. Ketulusan serta pengorbanannyalah yang membuatku terlahir dan hidup seperti saat ini.

Sebuah hikayat usang pernah berkata “Cinta itu buta. Seringkali karena cinta orang bisa melakukan hal yang tidak rasional”. Bisa jadi itulah gambaran sederhana dari apa yang aku rasakan pada ibuku. Perempuan tangguh yang dari rahimnyalah, Tuhan memberiku kehidupan. Aku terlahir dari sebuah keluarga sederhana, asli keturunan madura. Bagi orang madura kehormatan adalah segalanya. Dengan semboyan yang karib kita kenal ‘lebih baik putih tulang daripada putih mata’ (lebih baik mati daripada menanggung malu). Itulah kenapa tidak salah jika kebanyakan orang madura identik dengan ‘carok’.

Carok adalah sebuah adu tanding yang kerapkali disebabkan hal-hal sepele tapi menyentil kehormatan dan harga diri. Namun terlepas dari semua itu, aku tetap bangga terlahir sebagai perempuan madura, yang kata orang terkenal tangguh dan tahan banting. Kumerenung dan berpikir. Lima tahun lalu, ketika aku lulus dari bangku SMA. Untuk pertama kalinya ketangguhanku diuji. Aku dihadapkan pada sebuah pilihan yang dilematis. Pernikahan. Yah, sebuah lamaran datang pada orang tuaku. Satu hal yang juga aku pelajari sebagai perempuan madura adalah ‘surga kami ada pada pengabdian kami’. Dan pengorbanan awalku tentu saja untuk keluargaku, ibuku. Karena alasan itulah, menolak menjadi momok yang mengerikan bagiku. Meski menerima perjodohan ini juga bukan hal yang menyenangkan.

Pilihan ini teramat sulit. Karena apapun pilihannya aku tetap ada di pihak yang kalah. Menikah, harusnya menjadi moment yang indah bagi setiap pasangan yang hendak menjalaninya. Namun tak demikian yang kurasakan, ketika aku dihadapkan pada kenyataan aku harus mengubur rapat keinginanku untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi berkarir. Namun menolak perjodohan ini juga bukan solusi indah yang bisa ditawarkan. Karena bisa jadi aku justru akan menjerumuskan keluargaku pada sesuatu yang disebut su’ul adab (tata krama yang tidak baik). Usia 19 tahun dianggap telah cukup matang untuk berumah tangga. Sehingga menjadi hal yang tidak baik menolak sebuah lamaran. Dengan asumsi, ibuku menikah dengan ayah di usia 13 tahun.

 “Nduk...jika memang kamu ingin kuliah setelah menikahpun masih bisa,” sebuah kalimat yang teramat sulit untuk kucerna. Namun pada akhirnya, aku adalah perempuan madura yang terlahir dengan surga karena pengabdiaannya. Aku memilih menjalani pengabdian pertamaku dengan harapan akan ada surga kelak untukku.
*****
 Akupun menjalani peran sebagai calon istri orang. Calon suamiku seorang yang humoris dan pekerja keras. Setidaknya itulah yang kudengar dari keluargaku. Meski dihadapanku, ia tak lebih sebagai sosok yang pendiam dan murung. Huuh..mungkin aku belum mengenalnya? Kucoba menghibur diri sendiri.
 Hingga hari pernikahan kami pun ditentukan. 7 hari setelah hari raya. Suasana sibuk di sana-sini. Di rumahku, dan tentu saja di rumah calon suamiku. Suatu ketika aku diminta untuk bertandang kerumah calon suamiku. Sekadar untuk menjalin keakraban dengan keluarga besarnya. Orang-orang yang kelak juga akan menjadi keluargaku. Aku menjalaninya dengan ritual yang aneh. Aku tak boleh bertatap muka dengan calon suamiku hingga hari pernikahan. Ritual yang kemudian kuketahui disebut ‘pingitan’. Aku menurut saja.
 Di kalangan keluarganya aku terbilang cukup pandai bergaul. Ini terbukti, hampir seluruh keluarganya sangat welcome padaku. Beberapa keponakannya bahkan telah fasih memanggilku dengan sebutan ‘tante’. Mereka anak-anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Mereka akan jadi sahabat kecilku. Kupikir.
 Namun Tuhan menyadarkan aku akan sesuatu. Manusia bisa saja berkehendak namun pada akhirnya DIA-lah yng akan menentukan jalan yang terbaik. Aku kembali dihadapkan pada sesuatu yang menguji ketangguhanku. Juga pengabdian yang kujalani. Aku mendapatkan jawaban atas sikap calon suamiku yang terkesan dingin. Dia tak pernah mencintaiku. Dia mungkin juga sama sepertiku, tengah menjalani pengabdian yang terkadang memang sangat menyesakkan.
 “aku menyayangimu, tapi apa gunanya?? Kau sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Dia perempuan yang pantas untuk menjadi ibu dari anak-anakmu. Kau pasti bahagia dengannya. Lupakan aku!”. Tanpa sengaja aku mendengar sebuah pembicaraan dari bilik kamar mandi. Dan siapa yang sangka jika itu adalah calon suamiku dan seorang perempuan, yang aku tahu masih sepupu calon suamiku.
Mereka kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Sekaget aku ketika mendengar kalimat yang seolah meruntuhkan bangunan cinta dan pengabdian yang baru saja hendak kubangun. Aku tidak tahu, dengan bahasa apa aku harus mengungkapkan perasaanku kala itu. Satu-satunya yang terlintas di otakku adalah... Aku ingin pulang!. Dan benar, aku pulang tanpa pamit pada siapapun.
 Aku pulang. Tapi aku tak menceritakan apapun pada keluargaku. Aku tak sanggup, meski hanya sekedar membahasakan kegalauan hatiku. Biarlah mereka yang menjelaskan. Malam harinya, sebuah pertemuan keluarga terjadi. Aku sengaja tak keluar kamar andai bukan karena ibu meminta untuk ikut dalam pertemuan itu. Kepalaku pening waktu itu. Dengan kendali diri yang masih tersisa, aku berusaha tampil setegar mungkin. Aku masih sempat menyalami calon mertuaku. Huh... berat sekali sebutan itu!. Sebelum akhirnya memutuskan duduk di samping ibuku. Aku menggenggam tangannya. Ibu... bantu aku! Batinku.
 “Nak, semua keputusan kami serahkan padamu....”. suara itu berasal dari ayah calon suamiku. Aku menarik nafas panjang. Mencoba membuang beban yang menyesakkan dadaku. “Ibu.... ibu tahu aku menjalani semua ini untuk ibu. Jika menurut ibu aku akan bahagia dengan menjalaninya. Aku akan menjalaninya”. Hanya itu, kalimat yang muncul dariku. Lantas aku kembali ke kamarku. Air mataku tak lagi bisa kubendung. Dan aku tak ingin ibu melihatnya. Meski akupun sadar, ibu tahu jika aku menangis.
*****
 Kini, segalanya telah lain. Seperti yang pernah kubilang, ‘Tuhan tahu yang terbaik’. Aku bukan lagi calon istri orang. Bukan lagi perempuan yang karena keluguannya menjadi benalu dalam batin orang lain. Aku bebas. Bebas dari ikatan tanpa cinta.
 Namun, benar kata orang China, dalam kehidupan ini selalu ada unsur yin dan yang (negatif dan positif). Itulah yang membuat kehidupan ini seimbang. Aku memang telah bebas dari ikatan yang mencekik leher, tapi tak berarti aku bebas dari masalah. Kenyataannya, aku dan keluargaku pun tetap berada di pihak yang salah. Karena memutuskan untuk mengakhiri ikatan tersebut. Sebuah keputusan yang mempertaruhkan harga diri dan martabat keluargaku.
 Kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Tentu saja bukan tanpa alasan. Tapi lagi-lagi karena ibuku dan untuk ibuku. Aku berjanji menjalani kehidupan dengan sebaik-baik yang bisa aku lakukan. Aku akan terus berusaha tidak akan mengecewakanmu ibu.
 Seketika itu pula seuntai puisi terucap: Teriknya sinar mentari// Menusuk tajam dalam mataku// Membuatku tersilaukan// Rona indah sebuah pengabdian// Langkah lemah bagai duri// Yang menancap.... menghujam jantungku// Dan menghancurkanku// Aku tersenyum menahan luka// Yang hampir berdarah.....dan// Semua untukmu ibu.*** 
Oleh: Fitriana Utami Dewi, alumni S2 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga.




0 komentar: