This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, June 24, 2012

Perempuan Madura


Mencintai dan keinginan untuk dicintai adalah hal yang sangat manusiawi. Semua orang pasti merasakannya. Cinta yang pertama kali kukenal adalah cinta ibuku. Ketulusan serta pengorbanannyalah yang membuatku terlahir dan hidup seperti saat ini.

Sebuah hikayat usang pernah berkata “Cinta itu buta. Seringkali karena cinta orang bisa melakukan hal yang tidak rasional”. Bisa jadi itulah gambaran sederhana dari apa yang aku rasakan pada ibuku. Perempuan tangguh yang dari rahimnyalah, Tuhan memberiku kehidupan. Aku terlahir dari sebuah keluarga sederhana, asli keturunan madura. Bagi orang madura kehormatan adalah segalanya. Dengan semboyan yang karib kita kenal ‘lebih baik putih tulang daripada putih mata’ (lebih baik mati daripada menanggung malu). Itulah kenapa tidak salah jika kebanyakan orang madura identik dengan ‘carok’.

Carok adalah sebuah adu tanding yang kerapkali disebabkan hal-hal sepele tapi menyentil kehormatan dan harga diri. Namun terlepas dari semua itu, aku tetap bangga terlahir sebagai perempuan madura, yang kata orang terkenal tangguh dan tahan banting. Kumerenung dan berpikir. Lima tahun lalu, ketika aku lulus dari bangku SMA. Untuk pertama kalinya ketangguhanku diuji. Aku dihadapkan pada sebuah pilihan yang dilematis. Pernikahan. Yah, sebuah lamaran datang pada orang tuaku. Satu hal yang juga aku pelajari sebagai perempuan madura adalah ‘surga kami ada pada pengabdian kami’. Dan pengorbanan awalku tentu saja untuk keluargaku, ibuku. Karena alasan itulah, menolak menjadi momok yang mengerikan bagiku. Meski menerima perjodohan ini juga bukan hal yang menyenangkan.

Pilihan ini teramat sulit. Karena apapun pilihannya aku tetap ada di pihak yang kalah. Menikah, harusnya menjadi moment yang indah bagi setiap pasangan yang hendak menjalaninya. Namun tak demikian yang kurasakan, ketika aku dihadapkan pada kenyataan aku harus mengubur rapat keinginanku untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Apalagi berkarir. Namun menolak perjodohan ini juga bukan solusi indah yang bisa ditawarkan. Karena bisa jadi aku justru akan menjerumuskan keluargaku pada sesuatu yang disebut su’ul adab (tata krama yang tidak baik). Usia 19 tahun dianggap telah cukup matang untuk berumah tangga. Sehingga menjadi hal yang tidak baik menolak sebuah lamaran. Dengan asumsi, ibuku menikah dengan ayah di usia 13 tahun.

 “Nduk...jika memang kamu ingin kuliah setelah menikahpun masih bisa,” sebuah kalimat yang teramat sulit untuk kucerna. Namun pada akhirnya, aku adalah perempuan madura yang terlahir dengan surga karena pengabdiaannya. Aku memilih menjalani pengabdian pertamaku dengan harapan akan ada surga kelak untukku.
*****
 Akupun menjalani peran sebagai calon istri orang. Calon suamiku seorang yang humoris dan pekerja keras. Setidaknya itulah yang kudengar dari keluargaku. Meski dihadapanku, ia tak lebih sebagai sosok yang pendiam dan murung. Huuh..mungkin aku belum mengenalnya? Kucoba menghibur diri sendiri.
 Hingga hari pernikahan kami pun ditentukan. 7 hari setelah hari raya. Suasana sibuk di sana-sini. Di rumahku, dan tentu saja di rumah calon suamiku. Suatu ketika aku diminta untuk bertandang kerumah calon suamiku. Sekadar untuk menjalin keakraban dengan keluarga besarnya. Orang-orang yang kelak juga akan menjadi keluargaku. Aku menjalaninya dengan ritual yang aneh. Aku tak boleh bertatap muka dengan calon suamiku hingga hari pernikahan. Ritual yang kemudian kuketahui disebut ‘pingitan’. Aku menurut saja.
 Di kalangan keluarganya aku terbilang cukup pandai bergaul. Ini terbukti, hampir seluruh keluarganya sangat welcome padaku. Beberapa keponakannya bahkan telah fasih memanggilku dengan sebutan ‘tante’. Mereka anak-anak yang sangat lucu dan menggemaskan. Mereka akan jadi sahabat kecilku. Kupikir.
 Namun Tuhan menyadarkan aku akan sesuatu. Manusia bisa saja berkehendak namun pada akhirnya DIA-lah yng akan menentukan jalan yang terbaik. Aku kembali dihadapkan pada sesuatu yang menguji ketangguhanku. Juga pengabdian yang kujalani. Aku mendapatkan jawaban atas sikap calon suamiku yang terkesan dingin. Dia tak pernah mencintaiku. Dia mungkin juga sama sepertiku, tengah menjalani pengabdian yang terkadang memang sangat menyesakkan.
 “aku menyayangimu, tapi apa gunanya?? Kau sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Dia perempuan yang pantas untuk menjadi ibu dari anak-anakmu. Kau pasti bahagia dengannya. Lupakan aku!”. Tanpa sengaja aku mendengar sebuah pembicaraan dari bilik kamar mandi. Dan siapa yang sangka jika itu adalah calon suamiku dan seorang perempuan, yang aku tahu masih sepupu calon suamiku.
Mereka kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Sekaget aku ketika mendengar kalimat yang seolah meruntuhkan bangunan cinta dan pengabdian yang baru saja hendak kubangun. Aku tidak tahu, dengan bahasa apa aku harus mengungkapkan perasaanku kala itu. Satu-satunya yang terlintas di otakku adalah... Aku ingin pulang!. Dan benar, aku pulang tanpa pamit pada siapapun.
 Aku pulang. Tapi aku tak menceritakan apapun pada keluargaku. Aku tak sanggup, meski hanya sekedar membahasakan kegalauan hatiku. Biarlah mereka yang menjelaskan. Malam harinya, sebuah pertemuan keluarga terjadi. Aku sengaja tak keluar kamar andai bukan karena ibu meminta untuk ikut dalam pertemuan itu. Kepalaku pening waktu itu. Dengan kendali diri yang masih tersisa, aku berusaha tampil setegar mungkin. Aku masih sempat menyalami calon mertuaku. Huh... berat sekali sebutan itu!. Sebelum akhirnya memutuskan duduk di samping ibuku. Aku menggenggam tangannya. Ibu... bantu aku! Batinku.
 “Nak, semua keputusan kami serahkan padamu....”. suara itu berasal dari ayah calon suamiku. Aku menarik nafas panjang. Mencoba membuang beban yang menyesakkan dadaku. “Ibu.... ibu tahu aku menjalani semua ini untuk ibu. Jika menurut ibu aku akan bahagia dengan menjalaninya. Aku akan menjalaninya”. Hanya itu, kalimat yang muncul dariku. Lantas aku kembali ke kamarku. Air mataku tak lagi bisa kubendung. Dan aku tak ingin ibu melihatnya. Meski akupun sadar, ibu tahu jika aku menangis.
*****
 Kini, segalanya telah lain. Seperti yang pernah kubilang, ‘Tuhan tahu yang terbaik’. Aku bukan lagi calon istri orang. Bukan lagi perempuan yang karena keluguannya menjadi benalu dalam batin orang lain. Aku bebas. Bebas dari ikatan tanpa cinta.
 Namun, benar kata orang China, dalam kehidupan ini selalu ada unsur yin dan yang (negatif dan positif). Itulah yang membuat kehidupan ini seimbang. Aku memang telah bebas dari ikatan yang mencekik leher, tapi tak berarti aku bebas dari masalah. Kenyataannya, aku dan keluargaku pun tetap berada di pihak yang salah. Karena memutuskan untuk mengakhiri ikatan tersebut. Sebuah keputusan yang mempertaruhkan harga diri dan martabat keluargaku.
 Kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Tentu saja bukan tanpa alasan. Tapi lagi-lagi karena ibuku dan untuk ibuku. Aku berjanji menjalani kehidupan dengan sebaik-baik yang bisa aku lakukan. Aku akan terus berusaha tidak akan mengecewakanmu ibu.
 Seketika itu pula seuntai puisi terucap: Teriknya sinar mentari// Menusuk tajam dalam mataku// Membuatku tersilaukan// Rona indah sebuah pengabdian// Langkah lemah bagai duri// Yang menancap.... menghujam jantungku// Dan menghancurkanku// Aku tersenyum menahan luka// Yang hampir berdarah.....dan// Semua untukmu ibu.*** 
Oleh: Fitriana Utami Dewi, alumni S2 Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga.




PMTS Gelar Lomba Barongsai


Banyak jalan menuju Roma. Banyak pula cara dalam menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-719 kota Surabaya. Bagi warga Tionghoa Surabaya yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya (PMTS), cara tepat untuk memeriahkannya dengan menggelar perlombaan Barongsai se-Indonesia.
Kepada ChinaTown, Tjai Joe Fon, bendahara panitia acara, mengatakan bahwa maksud dan tujuan digelar acara perlombaan Barongsai merupakan event tahunan untuk menyemarakkan HUT kota Surabaya. “Lomba Barongsai ini sebagai bagian partisipasi warga Tionghoa Surabaya mencintai kota Pahlawan. Lomba ini sudah kami selenggarakan keempat kalinya” ungkapnya.
Tjai Joe Fon menambahkan bahwa selain lomba Barongsai, kami juga menggelar beberapa acara seperti kirab budaya, dan karaoke mandarin untuk meramaikan sekaligus menyambut HUT Kota Surabaya.
Sementara itu, Gundraynie, wakil ketua panitia, menjelaskan bahwa acara lomba Barongsai selalu menarik perhatian publik di negeri ini. “Tahun ini, perlombaan barongsai diikuti 20 tim barongsai se-Indonesia. Diantaranya dari Surabaya, Pamekasan, Malang, Tuban, Kudus, Ujung Padang, Tarakan, Jakarta dan lainnya” jelasnya.
Gundraynie menambahkan bahwa perlombaan barongsai yang digelar mulai 5-6 Mei di Atrium ITC Surabaya tersebut menggunakan standar penilaian internasional. “Kami mengundang beberapa juri tingkat internasional untuk memberikan penilaian dalam perlombaan ini” ungkapnya.
Tjai Joe Fon mengatakan bahwa atraksi yang dimainkan setiap tim barongsai terbilang unik dan menegangkan. Karena mereka memang harus bermain di atas tonggak dengan ketinggian standar international. “Jika mereka terjatuh saat atraksi, maka itu akan mengurangi nilai,”jelasnya.
Menurut Tjai Joe Fon, ada beberapa kriteria penilaian yang diberikan juri. Diantaranya  tingkat kesulitan, keserasian, ketangkasan, kecepatan waktu, keseimbangan hingga kesesuaian atraksi dengan alur cerita.
Gundraynie menjelaskan bahwa setiap pemenang lomba Barongsai ini, biasanya akan dikirim mewakili Indonesia untuk perlombaan tingkat internasional. “Lomba kali ini merupakan tahun ke-4, tiga tahun lalu secara berturut-turut, juara Barongsai dari Tarakan. Sehingga, Tim barongsai Tarakan seringkali mewakili Indonesia untuk tanding ke luar negeri, seperti di Malaysia dan Tiongkok”, paparnya.
Tjai Joe Fon berharap, agar barongsai lebih memasyarakat dan tidak hanya memperebutkan walikota cup, tahun depan perlombaan barongsai bisa menjadi salah satu ikon olah raga nasional. “Kepada pemerintah, kami berharap perhelatan barongsai bisa masuk Pekan Olah Raga Nasional (PON),” tuturnya.
Salah satu penonton lomba barongsai, Pebiniarti mengaku sangat senang dan terhibur. Karena atraksinya menarik sekali. “Baru kali ini saya melihat pertunjukan barongsai dengan atraksi yang dilakukan di atas tonggak setinggi kurang lebih empat meter. Saya tidak menyesal datang dari Malang ke Surabaya untuk menyaksikan festival barongsai ini”katanya.
Moevia, penonton lainnya, mengatakan bahwa perlombaan Barongsai kini menjadi salah satu daya tarik baru bagi masyarakat di Surabaya. “Kami datang sekeluarga mengajak anak-anak ke ITC ini untuk melihat pertunjukan ini. Ternyata, lomba ini menghibur sekali. Kami sekeluarga sangat senang. Ke depan, lomba seperti ini perlu terus dilakukan” harapnya.
Fitriana Utami Dewi.

Perhimpunan INTI Gelar Lomba "Kartini"


Siapa tak kenal Kartini? Jawabnya, tentu, hampir semua rakyat Indonesia mengenal sosok dan kiprahnya. Melalui lirik lagu “Kartini”, sosok Kartini menjadi ikon “Putri sejati, Putri Indonesia, Pendekar bangsa, Pendekar kaumnya Untuk merdeka”.
Oleh karena itu, di setiap 21 April semua elemen masyarakat di negeri ini selalu memperingati Hari Kartini. Warga Tionghoa sebagai bagian rakyat Indonesia, tak mau ketinggalan turut ambil bagian dalam merayakannya. Salah satunya peringatan Hari Kartini yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Cabang Madiun, belum lama ini.
Ketua Perhimpunan INTI Madiun, Wahju Widajat, mengatakan bahwa pada tahun ini, Perhimpunan INTI Cabang Madiun bekerjasama dengan Sekolah Nasional Tiga Bahasa Mitra Harapan Madiun turut memperingati Hari Kartini dengan tema: "Semangat Kartini Dalam Keanekaragaman Budaya Indonesia".
Kepada China Town, Wahju menjelaskan bahwa maksud dan tujuan digelarnya acara tersebut untuk mengajak generasi muda agar tidak melupakan sejarah perjuangan Kartini. Terutama, perjuangan perempuan untuk kemerdekaan dan pentingnya emansipasi wanita serta memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah-tengah keragaman budaya Indonesia.
“Pada tahun ini, acara peringatan Hari Kartini, kami kemas dalam beragam kegiatan dan lomba yang diperuntukan anak sekolah playgroup, TK (Taman Kanak-Kanak) sekolah dasar dan masyarakat umum” ungkapnya.
Harapannya, ungkap Wahju, sejak usia dini, generasi bangsa sudah terbiasa berani tampil, bersemangat untuk maju, berani menunjukkan eksistensi dan bakatnya di berbagai bidang dan selalu mengukir prestasi yang membanggakan.
“Selain itu, juga para generasi muda Indonesia, sudah mengenal, dan bisa menghormati jasa para pahlawan dengan cara meneladani semangat para pahlawan Indonesia. Sehingga, semangat persatuan dan kesatuan bangsa dalam keanekaragaman budaya dapat dimiliki,” imbuhnya.
Sementara itu, Hendro Gunawan, Ketua panitia acara, mengatakan, lomba dihelat mulai 21-22 April, diikuti 618 peserta, dari berbagai daerah, seperti  Yogyakarta, Tangerang, Manado dan Madiun, bertempat di Sekolah Tiga Bahasa Mitra Harapan dan Hall Hotel Merdeka Madiun, dengan berbagai macam kategori lomba, yaitu lomba menyanyi, busana kartini-kartono cilik, telling story dengan menggunkan tiga bahasa, yaitu Indonesia, Inggris dan Mandarin, lomba mewarnai dan foto, untuk anak usia 4-12 tahun. Sedangkan, lomba melukis diikuti oleh anak usia 10-12 tahun.
“Setiap anak yang mengikuti lomba wajib membayar uang pendaftaran mulai 35 ribu sampai 65 ribu bergantung jenis lomba yang diikuti. Untuk pemenang, mendapatkan trophy, piagam dan total uang pembinaan sebesar Rp. 14 juta lebih. Panitia juga menyediakan doorprize, seperti TV, DVD, dan MP3”, katanya.
Kategori juara yang diperebutkan untuk masing-masing kategori lomba, terdiri dari juara 1-3, harapan 1-3, yang dibagi dalam tiga kategori tingkat pendidikan, yaitu tingkat playgroup-Taman Kanak-Kanak, tingkat kelas 1-3 sekolah dasar dan tingkat kelas 4-6 sekolah dasar. Sehingga ada 132 trophy dan piagam yang disediakan panitia. Sedangkan, setiap pemenang rata-rata mendapat uang binaan sebesar Rp. 200-350rb.
Juri lomba terdiri dari para praktisi dan akademisi yang kompeten di bidangnya, salah satunya untuk lomba telling story bahasa mandarin, juri dari dosen Universitas Widya Kartika dari Tiongkok, Badan Koordinasi Bahasa Mandarin Jawa Timur, untuk telling story bahasa Inggris, panitia bekerjasama dengan lembaga bahasa inggris EF, sedangkan lomba menyanyi juri dari group kemuning Surabaya.
Hadir dalam acara perwakilan dari dinas pendidikan, kepemudaan dan olah raga Madiun, pendiri Yayasan Mitra Harapan, ketua Inti Jatim, dan pengurus, ketua Inti Cabang Nganjuk, Jombang dan Surabaya. Fitriana Utami Dewi