This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, February 15, 2008

Mengkaji Ulang Islam Multikultural

Pascatragedi 11 September 2001, diskursus Islam terus menjadi topik aktual dan menarik perhatian banyak kalangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di tanah air, misalnya, pertarungan wacana dan ideologi Islam kembali mencuat ke permukaan yang diwakili dua kutub yang saling berseberangan: antara kubu fundamental di satu pihak dan kubu liberal di lain pihak. Dalam perdebatan wacana ini, tentu saja beda pendapat dan konflik sosial pun acapkali tidak bisa dihindari. Bahkan, klaim kebenaran (truth claim), tuduh-menuduh, penghakiman dan pengkafiran seolah menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupan beragama di negeri ini.

Potret di atas merupakan realitas empirik yang sering dijumpai beberapa tahun lalu, meski akhir-akhir ini wacana tersebut agak redup akibat kalah isu dengan wacana politik, infotainment selebriti dan peristiwa bencana alam di berbagai pelosok tanah air. Namun begitu, bukan berarti perdebatan Islam di nusantara menjadi stagnan, justru dengan ramainya wacana tersebut menjadikan perdebatan agama terus menguat dan kian ramai. Setidaknya hal itu ditandai dengan munculnya banyak kelompok kajian, aliran keagamaan, dan golongan-golongan dalam semua agama, khususnya di Islam.

Islam Multikultural
Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo.

Kini, realitas multikultural tersebut kadangkala menantang kita untuk bisa bersikap lebih arif dan bijak. Di satu sisi, misalnya, mungkin kita merasa bangga dengan munculnya banyak aliran, kelompok dan golongan dalam Islam, sehingga dengan leluasa bisa memilih dan bergabung dengan aliran yang banyak tersebut. Tetapi, pada sisi lain sebagian kita pasti ada yang bingung dan resah akibat munculnya ragam kelompok dalam Islam di Indonesia belakangan ini, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Yusman Roy, JIL, JIMM, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan sebagainya.

Memang, perbincangan Islam multikultural bukan wacana baru karena sebelumnya sudah banyak pakar Muslim telah melakukan kajian ini. Dalam buku Democratic Pluralism in Islam, misalnya, Abdul Aziz Sachedina pernah merekam dan mengungkap wajah pluralistik Islam baik secara normatif maupun historis. Bagi dia, secara normatif, sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits telah menjelaskan perlunya kenal-mengenal (ta`aruf) antarsuku bangsa dan agama (Q.S. al-Hujurat:13). Bahkan, Hassan Hanafi pernah melontarkan kritik yang dituangkan dalam buku al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), tentang perlunya rekonstruksi pemikiran Islam dan pemihakan kaum tertindas akibat perbedaan status, gender dan kultur.

Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.

Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.

Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.

Prospek ke Depan
Di tengah situasi konflik akhir-akhir ini, masa depan Islam multikultural tampaknya bisa menjadi wacana alternatif atas problematika Islam kontemporer. Lebih-lebih di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, plural dan beragam dalam berbagai hal, wacana Islam multikultural bisa dikatakan strategis untuk ditawarkan.

Keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU dan organisasi keagamaan lainnya di era multikultural seperti saat ini sudah seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator bukan instruktur. Fungsi koordinatif ketimbang instruktif bagi lembaga keagamaan di negeri ini menjadi penting karena dominasi salah satu pihak atas organisasi keagamaan akan menimbulkan konflik dan awal munculnya diskriminasi social, dan secara langsung atau tidak langsung telah menghilangkan eksistensi salah satu pihak.

Penghargaan atas pihak lain dengan jalan membuka dialog bersama guna membuat dan memutuskan kebijakan (decision making) menjadi penting. Tentu saja hal itu dilakukan dalam persoalan-persoalan yang relevan dan berkaitan erat dengan masalah dan kepentingan hidup bersama.

Selain itu, pihak negara sudah seharusnya tidak banyak ikut terlibat dalam urusan-urusan agama dan keluarga hingga yang sangat pribadi, seperti soal poligami. Isu poligami yang ramai kembali akibat berita A’a Gym menikah dengan Teh Rini membuat negara ikut-ikutan campur tangan. Menurut hemat penulis, biarlah persoalan agama lebih banyak diserahkan kepada kaum agamawan, sedangkan pemerintah sebaiknya hanya memberi pelayanan sebaik-baiknya dalam urusan-urusan publik, bukan malah ikut campur tangan dalam masalah agama hingga persoalan kecil.

Negara dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai visi UUD 1945 dan Pancasila.

Akhirnya, gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain (others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?[]

*Penulis adalah Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; yang telah menulis buku Pendidikan Multikultural (2006).
Suara Muhammadiyah edisi 1-15 Maret 2007.

Thursday, January 24, 2008

Impian Zero Accident

Impian Zero Accident
OLEH: Fitriana Utami Dewi*
Bencana dan musibah silih berganti terjadi. Belakangan ini frekwensinya kian berdekatan. Dalam minggu ini terjadi dua kali bencana dan musibah, yakni bencana longsor di Manggarai, Flores, NTT disusul gempa di Sumatera Barat. Tidak lama berselang, musibah terbakarnya pesawat Garuda di Yogyakarta saat mendarat. Puluhan orang tewas, dan ratusan lainnya dilaporkan selamat.Bencana menunjukkan musibah yang diakibatkan alam. Musibah, bencana yang berunsur sebagai faktornya, manusia, dan bila terjadi, bencana maupun musibah sama-sama berbuah duka cita. Hingga kini, belum diketahui pasti penyebab terbakarnya pesawat Garuda di bandara Adisucipto Yogyakarta. Cuaca buruk? Kita ketahui, landasan di sana pendek dan bergelombang. Semua pihak, masyarakat, maskapai maupun pemerintah ingin tahu apa penyebabnya dan bagaimana duduk perkara itu.Setiap musibah dan bencana menuntut secepat mungkin penanganan para korban yang tewas, luka maupun selamat. Selanjutnya diperiksa dan diselidiki latar belakang dan penyebab, lalu dijadikan pelajaran untuk mencegah kecelakaan berikutnya. Sikap dan kemauan mengambil pengalaman dan pelajaran ikut menentukan terhindarnya kecelakaan berikut. Dalam setiap bencana dan musibah, sering disimpulkan sebagai human error. Antara lain kelalaian fatal dalam mengawasi, merawat, menaati dan melaksanakan peraturan, dalam bekerja secara tuntas dan kurang disiplin. Tampaknya sederhana, tapi itulah serunut kunci kemajuan sebuah bangsa.Bagaimana kita harus menerima, memperbaiki, dan terutama menangkap makna musibah itu? Dalam bahasa daerah (Jawa), ada ungkapan tanggap ing sasmita, tanggap akan isyarat dari "langit". Bukan dalam konteks "klenik" ungkapan itu ditangkap, tapi dalam sikap, keterbukaan dan kerendahan hati. Kepada siapa pesan itu disampaikan? Kepada semua kita, --eksekutif, legislatif dan yudikatif, elite, pimpinan partai dan para pelaku usaha swasta. Kebangkitan dan gerakan kebangkitan, juga dalam demokrasi memerlukan kepemimpinan, --kepemimpinan pemerintah dan kepemimpinan masyarakat. Jika saat musibah dan bencana masih mampu menghadapkan hati ke atas, berarti setiap kita masih miliki rasa menepuk dada sebagai isyarat lalai, dan terutama kehendak untuk bangkit bersama.***Wiman Wibisana dalam sebuah artikelnya menulis, industri penerbangan di negeri ini tidak ubahnya dengan industri pencetak maut. Belum reda tangis keluarga korban Adam Air Flight KI 574, giliran pesawat Garuda Indonesia, yang notabene flag carrier yang standar perawatan termasuk yang terbaik di Indonesia, ikut celaka. Sebegitu suramkah dunia dirgantara Indonesia atau memang segalanya adalah takdir yang tak bisa ditolak?Bila ditilik secara logis, sebenarnya penerbangan adalah dunia yang penuh perhitungan. Segala sesuatunya sudah diperhitungkan secara cermat, efisien dan seaman-amannya. Namun, sepertinya itu semua tidak berlaku di sini. Banyak faktor yang mempengaruhi sering terjadinya kecelakaan. Setidaknya, maintenance yang buruk, skill airman atau awak udara yang kurang, dan maraknya low cost carrier.Dunia penerbangan bukanlah dunia yang asal-asalan. Kecakapan dalam bidang spesialisasi adalah sesuatu yang mutlak. Seorang teknisi yang lupa memasang satu baut saja sebenarnya sudah merendahkan derajat dirinya sebagai airman dan menyumbang saham ketidakamanan penerbangan. Selain itu, pelanggaran terhadap prosedur adalah pelanggaran hukum yang serius. Pesawat adalah modal transportasi yang tidak bisa dipelihara tanpa aturan. Ada aturan A Check, B Check dan juga C Check, bahkan overhaul. Jika mematuhi aturan maintenance, sebenarnya kecelakaan pesawat yang disebabkan buruknya maintenance bisa dibilang hanya faktor takdir. Sebab, maintenance pesawat adalah hal paling utama dalam menentukan kelaikan terbang pesawat. Ibaratnya, maintenance adalah dewa penentu laik atau tidaknya pesawat terbang.Apakah para teknisi yang berperan dalam maintenance sudah cukup jujur? Apakah mereka berani berkata, pesawat ini tidak layak terbang? Kadang faktor kejujuran tereduksi hanya karena tuntutan perusahaan yang menghidupi mereka. Sering para teknisi terpaksa untuk membenar-salahkan kebenaran dan menyalah-benarkan kesalahan. Mereka dipaksa menyatakan pesawat laik terbang, sekalipun sebenarnya tidak.Zero accident (usaha meminimalisasi insiden) yang bisa mengakibatkan aksiden sering dikampanyekan dalam dunia penerbangan merupakan impian bagi semua penumpang. Usaha itu dimulai dari maintenance yang baik, iklim kerja yang kondusif dan kemampuan awak. TNI-AU pada era kepemimpinan Marsekal Chappy Hakim pernah kampanyekan zero accident secara besar-besaran. Hasilnya, angka kecelakaan di lingkungan TNI-AU kala itu menurun. Hanya, mampukah zero accident diterapkan dalam penerbangan sipil?Masih perlu kesadaran semua pihak untuk menyukseskan program ini. Setidaknya pemerintah selaku regulator perlu membuat kebijakan guna menerapkan zero accident. Sebab, ketidaktegasan pemerintah selama ini dalam mengambil kebijakan mengakibatkan ketidakadilan di dunia penerbangan. Seorang pilot maskapai swasta pernah berujar, "Keputusan apapun yang dikeluarkan, ‘kan itu cuma berlaku buat Garuda dan Merpati". Tentu ini adalah joke yang sangat menohok. Memang, parameter kita selalu ada pada maskapai pelat merah semacam Garuda dan Merpati. Tapi ketika mereka juga ternyata bermasalah, ke mana lagi kita berkaca?Singapore Airlines, maskapai flag carrier negeri tetangga, terakhir mengalami kecelakaan pada tahun 2000. Itu tercatat sebagai kecelakaan pertama bagi launch customer Airbus A-380 hingga kini. Sangat kontras dengan negeri ini yang kecelakaan pesawat hanya berselang mingguan, bulanan atau semesteran. Seolah setiap bulan memang "wajib" ada kecelakaan pesawat? Jika tisak ada perubahan dalam dunia penerbangan, zero accident sepertinya hanya jadi cita-cita besar dalam dunia penerbangan Indonesia.
*) Pemerhati masalah sosial, tinggal di Surabaya.